Biografi Tuanku Tambusai dari Daerah Riau

Tuanku Tambusai

Tuanku tambusai juga dikenal berjuang gigih melawanBelanda dengan gerakan Paderi-nya di sekitar daerah Rao dan Mandailing. Tuanku tambusai dilahirkan di Kampar pada tanggal 5 November 1784. Tuanku Tambusai dan kawan-kawannya bergabung dalam satu wadah yang dinamakan “Kaum Paderi”  yang dipimpin oleh Peto Syarif yang kemudian terkenal dengan sebutan Tuanku Imam Bonjol.

Setelah mendapat pendidikan Islam di Rao dan Bonjol, beliau dikenal dengan nama “Faqih Shalih”. Faqih Shalih meminta nasihat kepada dua orang ulama. Yang pertama itulah Tuanku Imam Bonjol (nama yang sebenarnya ialah Peto Syarif) dan yang kedua adalah Tuanku Rao (nama yang sebenarnya masih menjadi silang pendapat). Keduanya menyarankan supaya Faqih Shalih pergi haji ke Mekkah.

Setelah kembali dari Mekkah, Faqih Shalih dikenal dengan sebutan Haji Muhammad Shalih. Dan selanjutnya dalam Perang Imam Bonjol atau Perang Paderi, beliau lebih dikenal dengan nama Tuanku Tambusai.

Beliau berasal dari daerah Rokan, Sumatera. Beliau adalah pemimpin tertinggi dalam Perang Agung Dalu-dalu (sekarang dalam daerah Riau Daratan). Pada bulan November dan Desember 1837 pasukan Belanda bergerak dan menduduki Portibi, Kota Pinang, Angkola, Sipirok, dan Padang Lawas.

Pada tanggal 18 Januari 1838, Kolonel Michelis menggantikan Francis sebagai kepala pemerintahan sipil di Sumatera Barat. Pada bulan April 1838, Lubuk Antai ditinggalkan kaum Paderi dan Dalu-dalu diserang. Akhirnya Tuanku Tambusai dikalahkan pada 28 November 1838.

     Tuanku Tambusai adalah seseorang ulama dan pahlawan yang berpendirian keras tidak mau berunding dengan pihak penjajah Belanda. Secara umum perlawanan kaum Paderi dapat dipatahkan pada akhir tahun 1838. Tuanku Tambusai meneruskan perjuangan di Negeri Sembilan dengan menyemaikan benih berjuang kepada bangsa Melayu di Negeri Sembilan khususnya dan Semenanjung umumnya, yang dijajah oleh Inggris pada zaman itu. Beliau wafat di Malaysia pada tahun 1882 dan dimakamkan di Rasah, Negeri Sembilan Malaysia.

     Gelar Pahlawan Nasional yang diberikan kepada Tuanku Tambusai diteguhkan dengan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 071/TK/Tahun 1995 pada tanggal 7 Agustus 1995.



KONTROVERSI

     Dalam Majalah Tempo Edisi. 34/XXXVI/15-21 Oktober 2007 dikemukakan kekejaman yang dilakukan oleh Tuanku Tambusai. Hal ini merujuk kepada seorag pustakawan yang mendapatkan data-data dari Belanda dan melaporkan kekejaman Tuanku Tambusai di daerah Padang Lawas. Adalah Basyral Hamidy Harahap yang berusia 67 tahun, seorang peneliti sejarah Mandailing yang mengungkapkan bahwa ia masih ingat ceirta-cerita lisan turun-temurun dikampungnya di Simanabun, Padang Lawas. Kisah tentang bagaimana takutnya penduduk ketika pasukan Paderi pimpinan Tuanku Tambusai datang menyerbu.

     Basyral Hamidy Harahap sendiri merupakan turunan dari Raja Datu Bange yang bermarga Babiat di Simanabun, Distrik Dolok. Sebagaimana diketahui Datu Bange adalah raja yang paling gigih melawan Paderi di kawasan Padang Lawas. Pada tahun 1836, kawasan Padang Lawas dianggap sebagai daerah paling bid’ah oleh serdadu Paderi. Seorang pengikut setia Tuanku Tambusai yakni Raja Portibi yang bernama Kadhi Sulaiman tewas dalam perang ini. Tambusai kemudian kembali ke Mandailing.

     Demi menyelamatkan diri, Batu Bange bersama keluarga dan pasukan intinya pergi mengungsi ke puncak perbukitan Dolok dan tinggal disana selama setahun. Setahun kemudian, Tuanku Tambusai menyerang Datu Bange lagi. Adik kandung Datu Bange, Ja Sobob, berkhianat dengan menunjukkan jalan menuju ke puncak Dolok dan memberitahukan persembunyian kakaknya. Dalam pertempuran itu Datu Bange lolos namun ia terluka dan bersama pasukannya menyingkir melawati pegunungan Bukit Barisan.

Akhirnya Datu Bange meninggal dengan infeksi pada luka-lukanya. Sesungguhnya, menurut Basyral, Datu Bange bersedia untuk menyerah, tapi dengan syarat Tuanku Tambusai membiarkan pengikut Datu Bange selamat. Kenyataannya, pasukan Tambusai kemudian memutilasi ratusan penduduk Padang Lawas.

Data yang membenarkan semua kisah tentang pembantaian yang dilakukan Tuanku Tambusai ia dapatkan dari catatan-catatan J.B. Neumann, Jughuhn, Ypes, Schnitger, dan terutama T.J. Willer. Willerlah yang banyak mencatat brutalisme gerakan Paderi di daerah Padang Lawas. Dalam Almanak van Nederlandsch Indie, Willer disebut menjabat Ketua Komite untuk Wilayah Padang Lawas, Tambusai, Pane, dan daerah Bila pada 1838-1843. Jabatan berikutnya adalah Asisten Residen Mandailing Angkola yang berkedudukan di Panyabungan pada 1843. Dalam buku Willer itu juga ditampilkan silsilah Marga Babiat, mulai leluhur sampai Datu Bange, sampai generasi XII. Dari situlah Basyral tahu bahwa dirinya termasuk generasi cicit Datu Bange.

Sebagaimana Tuanku Imam Bonjol, Tuanku Tambusai di zaman Orde Baru diangkat sebagai Pahlawan Nasional. Berdasarkan catatan panitia yang mengusulkan gelar pahlawan nasional untuk Tuanku Tambusai, Datu Bange dianggap sebagai perampok yang sering membuat kekacauan. Hal ini disanggah Basyral dengan kesal bahwa; “Itu sama sekali tak benar. Datu Bange merupakan raja paling karismatik di Padang Lawas. Sebelum kaum Paderi masuk pun, warganya telah memeluk Islam,” ungkap Basyral.

Namun, hal yang diungkapkan Basyral disanggah oleh Prof. Drs. Suwardi, MS pada seminar Sejarah Perang Paderi 1803-1838 di Gedung Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) pada tanggal 22 Januari 2008, melalui makalahnya yang berjudul “Pandangan Masyarakat Melayu Riau Terhadap Kontroversi Buku Tuanku Rao Karya M.O. Parlindungan dan Greget Tuanku Rao Karya Basyral Hamidy Harahap Tentang Kepahlawanan Tuanku Imam Bonjol & Tuanku Tambusai”.

Hal yang disanggahnya adalah antara lain  bahwa gelar Tuanku Tambusai bukanlah merupakan gelar dari Hamonangan Harahap seperti yang diungkapkan M.O. Parlindungan melainkan bahwa Tuanku Tambusai semula lebih dikenal dengan nama Muhammad Shalih. Selanjutnya apa yang diungkapkan Basyral menurut Suwardi adalah fitnah dengan mengungkapkan apakah mungkin seorang penganut Islam yang taat hasil didikan kota suci Mekkah tega membunuh orang yang tak berdosa? Dimana-mana Islam selalu disebarkan dengan damai bukan dengan pedang sebagaimana dituduhkan. Hal ini berbeda tentunya dengan kedatangan bangsa Eropa ke Nusantara dengan membawa misi yang menghalalkan segala cara. Demikian sebagaiman diungkapkan oleh Prof. Drs. Suwardi, MS dalam sanggahannya.

Kontroversi di atas masih belum selesai hingga saat ini. Berbagai kalangan mengungkapkan bahwa kini masih diperlukan adanya suatu penelitian yang lebih komprehensif dan obyektif mengenai masalah ini. Tujuan Basyral adalah mendorong orang untuk menulis lebih banyak dan lebih baik lagidan menganjurkan agar siapapun untuk mencari bukti-bukti kemudian menuliskannya.



Semoga Dapat Bermanfaat bagi anda semua ,dan menambah pengetahuan anda,
Sampai Jumpa Pada artikel Selanjutnya.

===================================BYE=================================

robby cahyando

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar